Kamis, 21 Januari 2010

Kisah Cinta laila Majnun

Laila Majnun... adalah dua nama yang digabung jadi satu. Yakni laila dan Majnun. Siapa yang dimaksud majnun? Ialah Qais bin Mulawwah, putra Mulawwah bin Muzaihim keturunan Bani Amir. Qais lahir pada tahun 44 Hijriah, diasuh dan dibesarkan di Qatif, sebuah desa dekat Kota Nezd. Ia tumbuh dewasa, santun dan berbudi mulia.
Laila sang gadis pujaan hati, ialah putrid Mahdi bin Sa’ad. Satu rumpun dengan Qais, dari keturunan bani Amir. Laila lahir pada tahun 48 Hijriah, empat tahun lebih muda dari Qais. Laila berkulit putih, bermata celang dengan tubuh semampai.
Kisah ini bertepatan dengan masa kekhilafahan Abdul Malik bin Marwan, salah seorang khalifah dari Bani Umayah. Qais dan Laila bersahabat karib sejak kecil, mereka sering bermain dan bersama. Akrab, solid dan serasi. Menjelang dewasa mereka berpisah karena Laila dipingit oleh keluarganya.
Setelah sekian lama berpisah, akhirnya mereka bertemu kembali. Benih-benih cinta menelisik dalam hati, menyepa jiwa dan menyejuk rasa. Bergejolak membuncahkan darah asmara yang sekian lama terpenjara. Bak sumbu menemukan api, cinta keduanya bersambut gayung. Mereka saling mencintai.
Naaas nian! Ketika gejolak hati terpaut, ketika sinyal-sinyal asmara terpancar, dan ketika cinta tumbuh bersemi, Mahdi bin Sa’ad, ayahanda laila tidak merestui cinta mereka. Mahdi merasa akan tercoreng harga dirinya jika Qais menikah dengan laila. Mereka di paksa berpisah. Ini dia awal mula derita cinta Qais dan Laila. Qais melantunkan syair saat berpisah dengan Laila.

Wahai sahabatku,
Kepedihanku sekarang sama dengan kepedihanku dahulu
Aku merasa kembalinya cintaku justru membunuhku
Sedangkan sebelumnya sudah cukup menyiksaku
Terkadang membuatku putus asa
Namun pria harus punya semangat
Karnanyalah aku masih hidup

Dan laila pun bersyair,
Aduhai betapa menderita diriku
Cobaan datang padaku bertumpang tindih semenjak Qais meninggalkanku
Aku menyadari keadaanku yang tidak dapat hidup tanpa dia
Seandainya tidak ada pertolongan Allah, hidupku akan sia-sia

Qais menjadi kumal, kurus dan gila. Jadilah ia dijuluki Majnun, yang dalam bahasa Arab berarti gila. Penderitaannya menjadi-jadi kala mendengar Laila dinikahkan dengan Warad, seorang pemuda kaya dan terhormat. Sirna sudah harapan untuk hidup bersama Laila. Pun demikian Laila, ia tidak bahagia dengan Pernikahannya. Bahkan cinta telah membutakan hati keduanya, yakni mereka senantiasa mencari jalan untuk bersua. Ini yang keliru. Maka terbuktilah sabda Rasulullah SAW, “kecintaan pada sesuatu itu membuat buta dan tuli.” (H.r. Tirmidzi). Ini yang mesti diwaspadai.
Mengapa harus menghalalkan segala cara untuk meraih cinta? Mengapa tidak memilih jalan lain, jalan yang diridhai. Kalaupun bukan sidia, toh masih ada yang lain. Allah tidak Zalim, Ia menciptakan pasangan bagi setiap hamban-Nya. “Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan.” (Q.s. An-Najm [53]:45)
Sebaliknya, sikap Mahdi din Sa’ad, ayahanda Laila, juga dinilai kurang bijak. Hanya karena takut harga dirinya tercoreng, ia tega memisahkan orang yang saling mencintai. Ia terlalu cepat mengambil keputusan untuk menikahkan Laila dengan Warad, sedang Laila tidak mencintainya. Padahal anak punya hak untuk menentukan siapa pilihannya.
“Tidak boleh dinikahkan wanita janda sehingga ia musyawarah dan (tidak boleh dinikahkan) gadis sehingga diminta izinnya.” Para sahabat bertanya, “ya Rasulallah, bagaimana izinnya? “Rasulallah menjawab, “Ia diam.” (H.r. Bukhari)
Mari kembalikan cinya hanya kepada Allah. Allah menciptakan manusia, dan manusia perlu aturan. Allah menurunkan Islam sebagai aturan. Allah menciptakan manusia, dan manusia perlu cinta serta kasih sayang. Maka Allah menciptakan Islam sebagai agama cinta dan kasih saying. Islam is solution. Islam turun sebagai solusi yang mengatur pola pergaulan manusia. Jadi kembalikanlah cinta kepada penciptanya, Allah Swt. Menulis ulang karya Jauhari Al-Zanki, agar Jatuh Cinta tak jadi bencana.